“heii… tunggu saya!” teriak anisa ketika ditinggal jeje
lari ke halte depan halte SMA . Jeje terus berlari hingga akhirnya ia duduk di
bangku paling ujung di bawah atap halte Busway. “kamu tuli banget sih, aku
manggil kamu dungu!” teriak anisa tepat di samping telinga kiri jeje. “eh bujug
dah ni anak. Kamu cewek apa cowok sih nis? Malu sama petir woii! Haha” balas
jeje dengan puas. “apaan sih.. L” cubitan anisa akhirnya mendarat di
lengan kiri jeje. Reflek jeje mengeluarkan kata-kata maut sumpah serapah yang
tidak mampu lagi di sangkal anisa. Semenit kemudian mereka hanya mampu diam di
bawah hujan karena memang suara derasnya lebih keras dari teriakan anisa. Tapi
bersama hujan anisa selalu mampu berkata dengan bebas. Mampu mengatakan hal
yang bahkan tidak mampu ia ceritakan dengan siapapun, bahkan kepada icha,
sahabat karibnya.
“Semakin
hari otakku semakin tidak sadar memikirkan sesuatu. Aku hanya ingin suatu saat
ketika semua semakin kacau, aku hanya mau lupa sama kamu. Setahun hingga saat
ini melihatmu memnbuatku semakin menjadi pemimpi yang tidak tau untuk apa dia
bermimpi”
“heii kancil, busway
nya dateng, buruan sini..” teriak jeje yang lagi-lagi diiringi dengan tarikan
baju yang membangunkan anisa dari dunia puisinya. Seketika anisa berlari
mengikuti jeje tanpa sempat membalas celaannya lagi. Suasana sore itu
benar-benar membuat anisa semakin mencintai hujan.
30 menit kemudian anisa tiba di rumah dengan suasana hati
yang entah kenapa masih saja seperti sebelumnya. Masih dengan rasa gundah
gulana. Masih dengan pikiran bahwa jeje menganggapnya sahabat, tidak lebih.
Tidak lebih. “bip...bip…bip…” dering handphone blackberry dari saku baju anisa.
Pesan singkat dari jeje.
“nisa nanti malem aku ke rumah kamu, ambil berkas beasiswa”
Secepat kilat nisa
mengetik balasan singkat, antara kesal dan benci seperti beradu di hatinya.
“aku mau pergi”
“kamu itu bodoh atau
memang nggak peka sama perasaan orang sih. Kalo dungu jangan kelebihan napa.
Aku capek tau nggak!!” umpat anisa di depan Hp kesayangannya.
Yah, memang sejak mereka dinyatakan lulus dari SMA 70, Jeje
ingin melanjutkan ke Institut Teknologi Surabaya, Jurusan Teknik Kimia. Tentunya
dengan beasiswa penuh. Sedangkan anisa ingin melanjutkan ke Universitas Negeri
Yogyakarta, jurusan Sastra Perancis. Tapi jeje justru sering merepotkan anisa
untuk mengurus beasiswanya ke pihak akademik sekolah. Lagi-lagi ini masalah
perasaan dan bodohnya anisa masih tidak bisa menyampaikannya.
Diary pink, pena biru, dan lampu doraemon di atas meja
belajar di sudut kiri kamar itu selalu menjadi teman baik untuk anisa. Bahkan
kertas setebal 100 lembar itu hanya diisi oleh perasaan nya selama setahun
terakhir. Jeje. Iya, laki-laki kurus, tinggi 180cm, mata sipit, tampang sengak,
alis tebal, hidung pesek, dan wajah yang lebih mirip shinchan itu selalu
menjadi aktor di lebih dari 90 lembar
isi buku itu. Setidaknya 98 lembar sudah terisi. Dan hanya da satu tema.
Lagi-lagi Jeje. Di halaman awal anisa pernah menulis janji yang sebentar lagi
harus ditepatinya. “saya, Anisa Fadillah Aji berjanji, ketika saya selesai
menulis di lembar ke-100, saya akan menemui Jeje, dan bilang cinta ke dia.
Harus!”. Kata-kata itu selalu membuat anisa gemetar. “aduh, kenapa saya dulu bodoh
banget sih. Kenapa harus janji kayak gini. Ini udah lembar ke-98, besok ke-99,
lusa berarti ke-100. Dan besok itu dia berangkat ke Surabaya. Mau ditaruh mana
ini muka, dasar bodoh!” omel anisa di depan cermin.
“anisa… ada telpon dari
jeje” teriak bunda dari luar kamar.
“bilang aja anisa lagi
keluar bund..” jawab anisa kesal.
“jangan begitu nak,
bunda udah terlanjur bilang kamu ada dikamar”
“yah bunda..” jawab
anisa sambil membuka pintu kamarnya. Mengambil telepon dari uluran tangan bunda
dengan muka masam.
“ada apa?” Tanya anisa
kepada jeje di seberang telepon sana.
“berkas beasiswa masih
dikamu kan? Setengah jam lagi aku kerumah. Mau ambil yang punya aku. Besok aku
berangkat ke Surabaya” jawab jeje cepat.
“hah? Besok? Bukan nya
lusa?” anisa mulai gemetar dan tidak sadar dengan pertanyaan nya.
“iya, dapat panggilan
dari Pembantu rektor 3 nya. Nggak usah lebay deh”
“siapa yang lebay,
biasa aja ya. Yaudah ambil aja”
“oke, tunggu”
Tut…tut…tut.. sambungan
telepon terputus dari seberang.
“gila ya, ni anak nggak
ada sopan santun nya” umpat anisa di depan telepon itu.
“kenapa harus besok sih
je? Kamu belum ngerti semuanya” kalimat itu mengalir begitu saja di hati anisa.
Mata beningnya mulai berkaca-kaca. Dibenamkannya wajah cantik itu di bantal hijau
bermotif daun kering dengan sejuta perasaan aneh yang berkecamuk dalam hati.
Tangisnya tumpah sementara hatinya semakin hancur. Tanpa sadar anisa tertidur
dengan air mata masih belum kering. Tiba-tiba terdengar suara bunda memanggil
dari luar kamar.
“anisa… ada jeje di
depan”
Masih setengah sadar
anisa berusaha membuka mata dan menjawab panggilan bundanya.
“iya bund, suruh tunggu
bentar”
Cepat-cepat anisa
keluar kamar dengan membawa berkas dengan map biru. Sampai-sampai dia lupa
bahwa ia masih memakai baju yang setengah lembab karena hujan tadi sore.
“nih berkasmu” kata
anisa sambil menyodorkan map itu
“gila kamu belum mandi
nis? Baju lembab, mata sembab, kamu habis ngapain sih?” Tanya jeje sambil
menarik-narik lengan baju anisa
“bukan urusan kamu!,
udah pulang sono. Aku mau mandi, mau pergi” jawab anisa sekenanya.
“kamu kenapa sih nis?
Kamu marah ya? Bilang dong” bujuk jeje sok lembut
“eh, udah dibilng bukan
urusan kamu. Pulang sono. Hati-hati buat besok. Jaga diri baik-baik” bentak
anisa kemudin menutup pintu tanpa mengucap salam perpisahan untuk terakhir
kalinya.
“nis…nisa… anisa kamu
kenapa sih?” teriak jeje dari balik pintu rumh nisa.
Sementra dibalik pintu
yang lain, anisa menangis sendu. Lirih ia berkata “kamu nggak ngerti je. Kamu
nggak akan pernah ngerti” kemudian ia kembli kekamar. Ia melihat jeje dari
balik jendela, di balik pagar rumahnya lelaki itu berjalan semakin menjauh dari
pagar dan akhirnya menghilang. Malam itu menjdi mlam pling menakutkan dlm
hidupnya. Disatu sisi ia tidak mungkin mengingkari janjinya sendiri, tapi
disisi lain ia tidak mungkin berani mengatakannya sekarang.
Hari berganti, pagi itu anisa bertekad untuk tidak keluar
rumah, tidak menerima telepon atau pesan singkat. Apapun yang terjadi.
“bund, kalo ada telepon
buat anisa bilang aja nis nggak ada dirumah ya” kata anisa ketika sarapan
bersama keluarga di meja makan.
“memangnya kenapa? loh,
bukan ny jeje hari ini berangkat ke Surabaya kan? Kamu nggak mau nganter?”
potong ayah nisa.
“hehe… nggk yah, nisa
capek. Kemarin abis kehujanan pulang dari sekolah. Nisa ke kamar dulu ya bund,
yah”
Sampai dikamar
lagi-lagi anisa mengunci pintu, mematikan Hp dan koneksi internet di laptopnya.
Kembali berkutat dengan diary dan pena biru itu lagi.
Lembar
ke 100
Maafkan
saya, sampai saat ini saya masih jadi pengecut. Dia berangkat ke Surabaya dan
sya belum berani mengatakan apapun kepadanya. Saya melihat punggung ny menjauh
di balik pagar rasanya seperti ada seribu belati di dada saya. saya nggak
bermaksud bohong. Saya hanya belum siap.
Tulisan anisa berhenti.
Ia tidak snggup melanjutkn lagi dan lebih memilih untuk tidur. 2 jam kemudian
ia terbangun dengan suhu tubuh tinggi, badan gemetar dan sendi kaku. Anisa
tidak ingin berbuat apa-apa. Ia hanya ingin menikmati sakit itu sendiri. 2
bulan terakhir anisa di vonis mengidap kanker pankreas stadium 3 yang
menyebabkan perutnya sering sakit tiba-tiba.
“Tuhan, saya siap
dipanggil kapanpun, tapi tolong jngan panggil saya sebelum janji itu terucap”
ucap lirih anisa diiringi tetesan tangisan yang menghantarkannya hingga tak
sadarkan diri. 1 jam kemudian anisa sadar telah berada ditempt asing.
“bunda…” panggil anisa
“iya sayang… bunda
disini” jawab bunda dengan mata masih sembab
“anisa dimana?”
“di rumah sakit sayang.
Tadi kamu pingsan di kamar”
“maaf ya bund… nisa
buat ulah lagi” tangis anis meleleh disamping bunda.
Bunda tidak menjawb,
hanya diam dan tersenyum.
Sepuluh hari ia dirawat hingga akhirnya sakit itu tidak
semakin baik, justru memburuk. Anisa semakin sering tidak sadarkan diri. Hingga
hari ke 12 akhirnya ia berani bicara.
“bunda, ayah… anisa mau
minta pulang saja. Nggak ada gunanya disini lama-lama. Nisa nggak akan tambah
sembuh. Justru tambah sakit. Kita pulang aja ya bund” seketika ibu satu anak
itu meneteskan air mata untuk kesekian kalinya. “iya syang, besok kita pulang
ya” jawab bunda sekenanya.
Keesokan harinya, anisa sudah dirumah. Memang benar
kesehatan anisa seolah pulih, padahal dokter bilang kalau kanker itu belum bisa
dilawan. Hingga sore itu seorang tamu istimewa datang, menghampiri anisa yang
sedang duduk menghadap jelndela.
“anisa…” panggil lelaki
itu
“iya…” hati anisa
berdegub kencang. Seolah ada sambaran petir yang siap membelah hatinya menjadi
ratusan keeping. “kamu ngapain disini? nggak lagi kuliah?”
“saya kangen sama kamu
nis. Kamu apa kabar?”
“yah seperti yang kamu
lihat lah…” gadis itu mencoba menahan tangis di depan laki-laki ini
“kamu kenapa nggak
pernah ngasih kabar sih nis kalo kamu sakit kayak gini? Kamu nggak nganggep aku
sahabat? Atau kamu lupa sama aku?”
“bukan gitu je, aku
nggak mau kamu tahu kalau aku lemah. Aku nggak sekuat dulu lagi je.”
“setidaknya aku tahu…
aku mau nemenin kamu” sekejap keduanya diam. Hingga akhirnya tangisan itu tidak
mampu lagi dibendung anisa. “Aku nggak jadi masuk ITS nis… aku mau kuliah di
Jakarta aja. Sebenarnya kemarin aku mau cerita kalau aku nggak jadi ke Surabaya
tapi kamu nggak bisa dihubungi”
“kenapa nggak jadi?
Itukan cita-cita kamu je?”
“aku baru sadar bahwa
aku nggak bisa jauh dari kamu nis. Aku ngerasa ada bagian yang hilang ketika
aku ninggalin kamu”
Nisa hanya bisa diam.
Terlintas janjinya di lembar ke-100 itu. Tapi seolah tidak mungkin untuk
mengatakan dalam keadaan seperti ini. tidak mungkin anisa mengatakan dalam
keadaan ia sakit dan mungkin tidak akan lama lagi oksigen masih bisa masuk ke
paru-paru nya.
“je… aku boleh ngomong
sesuatu?”
“apa?” jawab jeje
sangat pelan
“apa yang kamu inget
tentang persahabatan kita selama 2 tahun ini?”
“kenapa kamu tanya
begitu? Aku inget semua nis. Bahkan waktu kamu mentah-mentah nyuruh aku pulang
waktu aku ambil berkas beasiswa itu. Aku tau kamu nangis di balik pintu kan?
Aku tau semuanya nisa. Aku tahu bahkan perasaan kamu pun aku tahu” suara jeje
semakin pelan bahkan terdengar ingin menangis.
“kamu itu nggak tau
apa-apa je… yang tau cuma aku dan buku itu” anisa menunjuk kea rah diary pink
di atas meja belajarnya. “kamu nggak pernah tau apa-apa je.. bahkan aku sakit
pun kamu nggak pernah tau kan? Karena kamu nggak peka!” tangis gadis itu
semakin deras. Hingga kata-katanya terdengar bergetar.
“aku tau Anisa Fadillah
Aji binti Rachmat Aji… demi Allah aku tau. Aku Cuma nggak bisa bilang ke kamu”
“Selama ini sakit ini,
penantian ini, kecewa ini aku telan mentah-mentah dan mengatasnamakan nya
sebagai cinta. Tapi saya nggak nyangka bisa menunggu kamu dengan seribu
perasaan aneh yang selalu muncul setiap kali liat kamu. Saya merasa benar-benar
buta sampai nggak bisa lagi bedain perasaan atau ego. Iya, saya mengatasnamakan
ini sebgai ego sekarang, karena jiwa saya bukan butuh kamu. Cuma hati saya yang
butuh kamu untuk jadi milik saya” sedejab keduanya terdiam kaku. Hingga anisa
kembali berkata dengan tangisan semakin deras.
“Sebenarnya saya bohong
kalau saya bilang rasa itu udah hilang sama sekali dari hati saya. nggak mudah
ngilangin perasaan setahun itu je. Setiap liat mata kamu, saya masih bisa
rasain semuanya. Tp ada gejolak tersendiri dari dalam hati saya yang bilang
bahwa saya nggak boleh sama kamu. Kamu terlalu jauh sampai aku hanya bisa
melihatmu dari jauh. Kamu terlalu dekat hingga aku nggak bisa liat fakta bahwa
kamu bukan jodohku. Aku bodoh ya sampai bisa ngerasain cinta kayak gini…”
Anisa nangis terisak isak. Hingga kemudian jeje mencoba
memeluk anisa dari samping. “Demi Allah saya nggak pernah biarin perasaan kamu
cuma sebatas di hati kamu sendiri nisa. Saya juga tersiksa nahan perasaan itu
setahun lebih. Tapi kamu nggak tau kan?”. Anisa sungguh tidak mampu lagi
berkata-kata. Ada seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Antara bahagia dan
sedih. Ya sedih karena ia harus menyumbangkan hidupnya yang dipenuhi “vonis”
untuk seseorang yang dicintainya.
“Anisa Fadillah Aji,
saya mau kamu jadi sahabat sehidup semati saya, saya mau kamu jadi teman yang
saya rindukan setiap harinya, saya mau kamu nungguin saya pulang di rumah
dengan wajah tetap manis seperti dulu, saya mau kamu jadi kekasih halal saya…”
“saya sakit je, saya
nggak mau kamu ngorbanin hidup kamu hanya demi saya. jangan pernah lakuin itu
ke saya je. Saya nggak bisa..”
“saya nggak liat kamu
dalam keadaan seperti apa nisa, saya cuma mau kita saling nemenin sampe hidup
kita bener-bener dipisahin sama Allah, saya nggak mau yang lain nisa. Saya udah
lama nunggu saat-saat ini datang”
Tanpa jawaban, anisa
hanya mengisyaratkan anggukan sebagai tanda bahwa ia mau. Impian itu datang…
iya, janji itu ternyata tidak hanya MACET di lembar ke-100. Janji seorang anisa
yang semula dianggap seperti lampu merah selama-lamanya ternyata salah. Janji
itu bukan tidak mungkin, hanya tertahan sementara. Tidak benar-benar macet
hingga keduanya tidak mampu bertemu lagi.
Bekasi, 7 oktober 2012
Pernikahan Anisa
Fadillah Aji binti Rachmat Aji dengan Bagus Gabrieallah(Jeje) bin Sapta
Ranggana.
No comments:
Post a Comment