Thursday, November 1, 2012

Merah, Kuning, kemudian Hijau..

        “heii… tunggu saya!” teriak anisa ketika ditinggal jeje lari ke halte depan halte SMA . Jeje terus berlari hingga akhirnya ia duduk di bangku paling ujung di bawah atap halte Busway. “kamu tuli banget sih, aku manggil kamu dungu!” teriak anisa tepat di samping telinga kiri jeje. “eh bujug dah ni anak. Kamu cewek apa cowok sih nis? Malu sama petir woii! Haha” balas jeje dengan puas. “apaan sih.. L” cubitan anisa akhirnya mendarat di lengan kiri jeje. Reflek jeje mengeluarkan kata-kata maut sumpah serapah yang tidak mampu lagi di sangkal anisa. Semenit kemudian mereka hanya mampu diam di bawah hujan karena memang suara derasnya lebih keras dari teriakan anisa. Tapi bersama hujan anisa selalu mampu berkata dengan bebas. Mampu mengatakan hal yang bahkan tidak mampu ia ceritakan dengan siapapun, bahkan kepada icha, sahabat karibnya.
“Semakin hari otakku semakin tidak sadar memikirkan sesuatu. Aku hanya ingin suatu saat ketika semua semakin kacau, aku hanya mau lupa sama kamu. Setahun hingga saat ini melihatmu memnbuatku semakin menjadi pemimpi yang tidak tau untuk apa dia bermimpi”
“heii kancil, busway nya dateng, buruan sini..” teriak jeje yang lagi-lagi diiringi dengan tarikan baju yang membangunkan anisa dari dunia puisinya. Seketika anisa berlari mengikuti jeje tanpa sempat membalas celaannya lagi. Suasana sore itu benar-benar membuat anisa semakin mencintai hujan.
          30 menit kemudian anisa tiba di rumah dengan suasana hati yang entah kenapa masih saja seperti sebelumnya. Masih dengan rasa gundah gulana. Masih dengan pikiran bahwa jeje menganggapnya sahabat, tidak lebih. Tidak lebih. “bip...bip…bip…” dering handphone blackberry dari saku baju anisa. Pesan singkat dari jeje.
nisa nanti malem aku ke rumah kamu, ambil berkas beasiswa”
Secepat kilat nisa mengetik balasan singkat, antara kesal dan benci seperti beradu di hatinya.
aku mau pergi”
“kamu itu bodoh atau memang nggak peka sama perasaan orang sih. Kalo dungu jangan kelebihan napa. Aku capek tau nggak!!” umpat anisa di depan Hp kesayangannya.
          Yah, memang sejak mereka dinyatakan lulus dari SMA 70, Jeje ingin melanjutkan ke Institut Teknologi Surabaya, Jurusan Teknik Kimia. Tentunya dengan beasiswa penuh. Sedangkan anisa ingin melanjutkan ke Universitas Negeri Yogyakarta, jurusan Sastra Perancis. Tapi jeje justru sering merepotkan anisa untuk mengurus beasiswanya ke pihak akademik sekolah. Lagi-lagi ini masalah perasaan dan bodohnya anisa masih tidak bisa menyampaikannya.
          Diary pink, pena biru, dan lampu doraemon di atas meja belajar di sudut kiri kamar itu selalu menjadi teman baik untuk anisa. Bahkan kertas setebal 100 lembar itu hanya diisi oleh perasaan nya selama setahun terakhir. Jeje. Iya, laki-laki kurus, tinggi 180cm, mata sipit, tampang sengak, alis tebal, hidung pesek, dan wajah yang lebih mirip shinchan itu selalu menjadi aktor  di lebih dari 90 lembar isi buku itu. Setidaknya 98 lembar sudah terisi. Dan hanya da satu tema. Lagi-lagi Jeje. Di halaman awal anisa pernah menulis janji yang sebentar lagi harus ditepatinya. “saya, Anisa Fadillah Aji berjanji, ketika saya selesai menulis di lembar ke-100, saya akan menemui Jeje, dan bilang cinta ke dia. Harus!”. Kata-kata itu selalu membuat anisa gemetar. “aduh, kenapa saya dulu bodoh banget sih. Kenapa harus janji kayak gini. Ini udah lembar ke-98, besok ke-99, lusa berarti ke-100. Dan besok itu dia berangkat ke Surabaya. Mau ditaruh mana ini muka, dasar bodoh!” omel anisa di depan cermin.
“anisa… ada telpon dari jeje” teriak bunda dari luar kamar.
“bilang aja anisa lagi keluar bund..” jawab anisa kesal.
“jangan begitu nak, bunda udah terlanjur bilang kamu ada dikamar”
“yah bunda..” jawab anisa sambil membuka pintu kamarnya. Mengambil telepon dari uluran tangan bunda dengan muka masam.
“ada apa?” Tanya anisa kepada jeje di seberang telepon sana.
“berkas beasiswa masih dikamu kan? Setengah jam lagi aku kerumah. Mau ambil yang punya aku. Besok aku berangkat ke Surabaya” jawab jeje cepat.
“hah? Besok? Bukan nya lusa?” anisa mulai gemetar dan tidak sadar dengan pertanyaan nya.
“iya, dapat panggilan dari Pembantu rektor 3 nya. Nggak usah lebay deh”
“siapa yang lebay, biasa aja ya. Yaudah ambil aja”
“oke, tunggu”
Tut…tut…tut.. sambungan telepon terputus dari seberang.
“gila ya, ni anak nggak ada sopan santun nya” umpat anisa di depan telepon itu.
“kenapa harus besok sih je? Kamu belum ngerti semuanya” kalimat itu mengalir begitu saja di hati anisa. Mata beningnya mulai berkaca-kaca. Dibenamkannya wajah cantik itu di bantal hijau bermotif daun kering dengan sejuta perasaan aneh yang berkecamuk dalam hati. Tangisnya tumpah sementara hatinya semakin hancur. Tanpa sadar anisa tertidur dengan air mata masih belum kering. Tiba-tiba terdengar suara bunda memanggil dari luar kamar.
“anisa… ada jeje di depan”
Masih setengah sadar anisa berusaha membuka mata dan menjawab panggilan bundanya.
“iya bund, suruh tunggu bentar”
Cepat-cepat anisa keluar kamar dengan membawa berkas dengan map biru. Sampai-sampai dia lupa bahwa ia masih memakai baju yang setengah lembab karena hujan tadi sore.
“nih berkasmu” kata anisa sambil menyodorkan map itu
“gila kamu belum mandi nis? Baju lembab, mata sembab, kamu habis ngapain sih?” Tanya jeje sambil menarik-narik lengan baju anisa
“bukan urusan kamu!, udah pulang sono. Aku mau mandi, mau pergi” jawab anisa sekenanya.
“kamu kenapa sih nis? Kamu marah ya? Bilang dong” bujuk jeje sok lembut
“eh, udah dibilng bukan urusan kamu. Pulang sono. Hati-hati buat besok. Jaga diri baik-baik” bentak anisa kemudin menutup pintu tanpa mengucap salam perpisahan untuk terakhir kalinya.
“nis…nisa… anisa kamu kenapa sih?” teriak jeje dari balik pintu rumh nisa.
Sementra dibalik pintu yang lain, anisa menangis sendu. Lirih ia berkata “kamu nggak ngerti je. Kamu nggak akan pernah ngerti” kemudian ia kembli kekamar. Ia melihat jeje dari balik jendela, di balik pagar rumahnya lelaki itu berjalan semakin menjauh dari pagar dan akhirnya menghilang. Malam itu menjdi mlam pling menakutkan dlm hidupnya. Disatu sisi ia tidak mungkin mengingkari janjinya sendiri, tapi disisi lain ia tidak mungkin berani mengatakannya sekarang.
          Hari berganti, pagi itu anisa bertekad untuk tidak keluar rumah, tidak menerima telepon atau pesan singkat. Apapun yang terjadi.
“bund, kalo ada telepon buat anisa bilang aja nis nggak ada dirumah ya” kata anisa ketika sarapan bersama keluarga di meja makan.
“memangnya kenapa? loh, bukan ny jeje hari ini berangkat ke Surabaya kan? Kamu nggak mau nganter?” potong ayah nisa.
“hehe… nggk yah, nisa capek. Kemarin abis kehujanan pulang dari sekolah. Nisa ke kamar dulu ya bund, yah”
Sampai dikamar lagi-lagi anisa mengunci pintu, mematikan Hp dan koneksi internet di laptopnya. Kembali berkutat dengan diary dan pena biru itu lagi.
Lembar ke 100
Maafkan saya, sampai saat ini saya masih jadi pengecut. Dia berangkat ke Surabaya dan sya belum berani mengatakan apapun kepadanya. Saya melihat punggung ny menjauh di balik pagar rasanya seperti ada seribu belati di dada saya. saya nggak bermaksud bohong. Saya hanya belum siap.
Tulisan anisa berhenti. Ia tidak snggup melanjutkn lagi dan lebih memilih untuk tidur. 2 jam kemudian ia terbangun dengan suhu tubuh tinggi, badan gemetar dan sendi kaku. Anisa tidak ingin berbuat apa-apa. Ia hanya ingin menikmati sakit itu sendiri. 2 bulan terakhir anisa di vonis mengidap kanker pankreas stadium 3 yang menyebabkan perutnya sering sakit tiba-tiba.
“Tuhan, saya siap dipanggil kapanpun, tapi tolong jngan panggil saya sebelum janji itu terucap” ucap lirih anisa diiringi tetesan tangisan yang menghantarkannya hingga tak sadarkan diri. 1 jam kemudian anisa sadar telah berada ditempt asing.
“bunda…” panggil anisa
“iya sayang… bunda disini” jawab bunda dengan mata masih sembab
“anisa dimana?”
“di rumah sakit sayang. Tadi kamu pingsan di kamar”
“maaf ya bund… nisa buat ulah lagi” tangis anis meleleh disamping bunda.
Bunda tidak menjawb, hanya diam dan tersenyum.
          Sepuluh hari ia dirawat hingga akhirnya sakit itu tidak semakin baik, justru memburuk. Anisa semakin sering tidak sadarkan diri. Hingga hari ke 12 akhirnya ia berani bicara.
“bunda, ayah… anisa mau minta pulang saja. Nggak ada gunanya disini lama-lama. Nisa nggak akan tambah sembuh. Justru tambah sakit. Kita pulang aja ya bund” seketika ibu satu anak itu meneteskan air mata untuk kesekian kalinya. “iya syang, besok kita pulang ya” jawab bunda sekenanya.
          Keesokan harinya, anisa sudah dirumah. Memang benar kesehatan anisa seolah pulih, padahal dokter bilang kalau kanker itu belum bisa dilawan. Hingga sore itu seorang tamu istimewa datang, menghampiri anisa yang sedang duduk menghadap jelndela.
“anisa…” panggil lelaki itu
“iya…” hati anisa berdegub kencang. Seolah ada sambaran petir yang siap membelah hatinya menjadi ratusan keeping. “kamu ngapain disini? nggak lagi kuliah?”
“saya kangen sama kamu nis. Kamu apa kabar?”
“yah seperti yang kamu lihat lah…” gadis itu mencoba menahan tangis di depan laki-laki ini
“kamu kenapa nggak pernah ngasih kabar sih nis kalo kamu sakit kayak gini? Kamu nggak nganggep aku sahabat? Atau kamu lupa sama aku?”
“bukan gitu je, aku nggak mau kamu tahu kalau aku lemah. Aku nggak sekuat dulu lagi je.”
“setidaknya aku tahu… aku mau nemenin kamu” sekejap keduanya diam. Hingga akhirnya tangisan itu tidak mampu lagi dibendung anisa. “Aku nggak jadi masuk ITS nis… aku mau kuliah di Jakarta aja. Sebenarnya kemarin aku mau cerita kalau aku nggak jadi ke Surabaya tapi kamu nggak bisa dihubungi”
“kenapa nggak jadi? Itukan cita-cita kamu je?”
“aku baru sadar bahwa aku nggak bisa jauh dari kamu nis. Aku ngerasa ada bagian yang hilang ketika aku ninggalin kamu”
Nisa hanya bisa diam. Terlintas janjinya di lembar ke-100 itu. Tapi seolah tidak mungkin untuk mengatakan dalam keadaan seperti ini. tidak mungkin anisa mengatakan dalam keadaan ia sakit dan mungkin tidak akan lama lagi oksigen masih bisa masuk ke paru-paru nya.
“je… aku boleh ngomong sesuatu?”
“apa?” jawab jeje sangat pelan
“apa yang kamu inget tentang persahabatan kita selama 2 tahun ini?”
“kenapa kamu tanya begitu? Aku inget semua nis. Bahkan waktu kamu mentah-mentah nyuruh aku pulang waktu aku ambil berkas beasiswa itu. Aku tau kamu nangis di balik pintu kan? Aku tau semuanya nisa. Aku tahu bahkan perasaan kamu pun aku tahu” suara jeje semakin pelan bahkan terdengar ingin menangis.
“kamu itu nggak tau apa-apa je… yang tau cuma aku dan buku itu” anisa menunjuk kea rah diary pink di atas meja belajarnya. “kamu nggak pernah tau apa-apa je.. bahkan aku sakit pun kamu nggak pernah tau kan? Karena kamu nggak peka!” tangis gadis itu semakin deras. Hingga kata-katanya terdengar bergetar.
“aku tau Anisa Fadillah Aji binti Rachmat Aji… demi Allah aku tau. Aku Cuma nggak bisa bilang ke kamu”
“Selama ini sakit ini, penantian ini, kecewa ini aku telan mentah-mentah dan mengatasnamakan nya sebagai cinta. Tapi saya nggak nyangka bisa menunggu kamu dengan seribu perasaan aneh yang selalu muncul setiap kali liat kamu. Saya merasa benar-benar buta sampai nggak bisa lagi bedain perasaan atau ego. Iya, saya mengatasnamakan ini sebgai ego sekarang, karena jiwa saya bukan butuh kamu. Cuma hati saya yang butuh kamu untuk jadi milik saya” sedejab keduanya terdiam kaku. Hingga anisa kembali berkata dengan tangisan semakin deras.
“Sebenarnya saya bohong kalau saya bilang rasa itu udah hilang sama sekali dari hati saya. nggak mudah ngilangin perasaan setahun itu je. Setiap liat mata kamu, saya masih bisa rasain semuanya. Tp ada gejolak tersendiri dari dalam hati saya yang bilang bahwa saya nggak boleh sama kamu. Kamu terlalu jauh sampai aku hanya bisa melihatmu dari jauh. Kamu terlalu dekat hingga aku nggak bisa liat fakta bahwa kamu bukan jodohku. Aku bodoh ya sampai bisa ngerasain cinta kayak gini…”
          Anisa nangis terisak isak. Hingga kemudian jeje mencoba memeluk anisa dari samping. “Demi Allah saya nggak pernah biarin perasaan kamu cuma sebatas di hati kamu sendiri nisa. Saya juga tersiksa nahan perasaan itu setahun lebih. Tapi kamu nggak tau kan?”. Anisa sungguh tidak mampu lagi berkata-kata. Ada seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Antara bahagia dan sedih. Ya sedih karena ia harus menyumbangkan hidupnya yang dipenuhi “vonis” untuk seseorang yang dicintainya.
“Anisa Fadillah Aji, saya mau kamu jadi sahabat sehidup semati saya, saya mau kamu jadi teman yang saya rindukan setiap harinya, saya mau kamu nungguin saya pulang di rumah dengan wajah tetap manis seperti dulu, saya mau kamu jadi kekasih halal saya…”
“saya sakit je, saya nggak mau kamu ngorbanin hidup kamu hanya demi saya. jangan pernah lakuin itu ke saya je. Saya nggak bisa..”
“saya nggak liat kamu dalam keadaan seperti apa nisa, saya cuma mau kita saling nemenin sampe hidup kita bener-bener dipisahin sama Allah, saya nggak mau yang lain nisa. Saya udah lama nunggu saat-saat ini datang”
Tanpa jawaban, anisa hanya mengisyaratkan anggukan sebagai tanda bahwa ia mau. Impian itu datang… iya, janji itu ternyata tidak hanya MACET di lembar ke-100. Janji seorang anisa yang semula dianggap seperti lampu merah selama-lamanya ternyata salah. Janji itu bukan tidak mungkin, hanya tertahan sementara. Tidak benar-benar macet hingga keduanya tidak mampu bertemu lagi.

Bekasi, 7 oktober 2012
Pernikahan Anisa Fadillah Aji binti Rachmat Aji dengan Bagus Gabrieallah(Jeje) bin Sapta Ranggana.

No comments:

Post a Comment