Aku diam, menyaksikan berbagai reaksi aneh dari kedua orang tuaku. Ayah menunduk diam. Ibu menangis memelukku. Ada apa ini? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang salah denganku.
"Apa salahnya mencintai Mas Endi, Bu, Pak? dia orang baik, soleh, orang tuanya juga kaya, Bapak dan Ibu nggak akan malu punya mantu seperti dia" Aku berusaha menemukan sorot mata kedua orang tuaku. Nihil. Mereka sama sekali tak melihatku, bahkan tak menggubriskan penjelasanku. Mataku mendadak panas. Dadaku sesak. Aku menangis sejadi-jadinya. Suara jeritanku bak lolongan serigala di puncak purnama.
"istighfar, nduk. sadar... ya Allah, Pak. Piye iki anakmu pak?" Tangisan wanita disampingku ini semakin menjadi-jadi saja. Mulutnya tak henti mengucapkan Astaghfirullahaladzim berkali-kali.
"Kapan Bapak sama Ibu bisa ngertiin Naya sih Bu, Pak? Cobalah untuk menghargai perasaan Naya. Aku ini anak Ibu. Anak Bapak. Bukan dosa besar yang perlu diminta ampunkan sama Allah. Katanya kalo mau apa-apa minta sama gusti Allah, lagi sedih, lagi capek, lagi pengen dapet jodoh minta sama gusti Allah. Lha iki opo, Bu, Pak? Gusti Allah ki ra pernah ngrungokne Naya, Bu. Ra pernah."
Kuhempaskan tas kulit hadiah ulang tahun dari Mas Didit, anak pak Lurah yang dijodohkan bapak denganku setahun yang lalu.
Ditengah kalutnya hati aku masih mencoba tenang. Aku berusaha menahan tangis yang mulai tak terbendung oleh tanganku hingga meluber diantara sela-sela jari. Kulihat cincin perak pemberian Mas Endi sebelum ia pergi, empat tahun lalu.
Siapa yang salah sekarang, Mas? Naya sudah berusaha menjelaskan pada mereka tapi, kenapa mereka tidak bisa mengerti kita, Mas? Kenapa? Bukankah cinta bukan berkaitan dengan wujud manusia? Aku bisa lihat kamu, kamu bisa selalu disampingku, yang mau menikah kan kita, kenapa mereka ndak mau ngerti sih, Mas. Hatiku mulai sesak, Mas.
Tangisku pecah. Kuhempaskan wajahku ke bantal. Aku menjerit sejadi-jadinya. Kurasakan tangan Mas Endi perlahan menggapaiku, menyapu rambutku dengan tangannya, berusaha menenangkanku sebisanya.
Kita akan menikah bulan depan, apapun yang terjadi.
Kata terakhir itu selalu terngiang di benakku sebelum akhirnya lelaki yang kucintai itu keluar kamar dan pamit pulang. Aku merasa Mas Endi sangat nyata. Bagaimanapun kondisinya selalu saja dia bisa membuatku tenang, memaafkan setiap hujatan yang diutarakan kepadaku. Mengabaikan predikat gila yang disematkan teman-teman kantorku karena sering bicara dengan Mas Endi di ruanganku. Aku heran saja, kemampuan teleportasi yang dimiliki Mas Endi justru dinilai rendah oleh semua orang.
Menjelang maghrib, kubuka pintu kamarku. Aku tidak menemukan Bapak dan Ibu di ruangan manapun. Kupanggil-panggil mereka tak satupun yang menjawab panggilanku. Mungkin sudah pergi ke Langgar, pikirku.
Kata terakhir itu selalu terngiang di benakku sebelum akhirnya lelaki yang kucintai itu keluar kamar dan pamit pulang. Aku merasa Mas Endi sangat nyata. Bagaimanapun kondisinya selalu saja dia bisa membuatku tenang, memaafkan setiap hujatan yang diutarakan kepadaku. Mengabaikan predikat gila yang disematkan teman-teman kantorku karena sering bicara dengan Mas Endi di ruanganku. Aku heran saja, kemampuan teleportasi yang dimiliki Mas Endi justru dinilai rendah oleh semua orang.
Menjelang maghrib, kubuka pintu kamarku. Aku tidak menemukan Bapak dan Ibu di ruangan manapun. Kupanggil-panggil mereka tak satupun yang menjawab panggilanku. Mungkin sudah pergi ke Langgar, pikirku.
***
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti tidak pernah terjadi apapun antara aku dan orang tuaku. Mereka mulai menerima kondisiku, Mas Endi, dan rencana pernikahan kami tiga minggu yang akan datang. Aku cukup lega karena Mas Endi sering datang ketika malam menjelang tidur, menceritakan perjalanannya hari itu hingga aku terlelap. Esok paginya, Ibu akan rutin menanyaiku "bagaimana perjalanan Endi kemarin". Dengan senang hati aku menceritakannya secara runut, persis seperti yang Mas Endi ceritakan padaku. Kadang kutambah dengan sedikit banyolan yang membuat Ibu tersenyum.
Sampai suatu ketika, sahabatku, Anisa datang ke rumah membawa kain jarik oleh-oleh dari Pekalongan. Ia bercerita tentang hari-harinya selama 10 tahun nyantri di Solo.
"Jadi, 10 tahun nyantri hasilnya dua keponakan cantik toh? La suamimu mana? nggak diajak pulang?" Kutanyakan itu dengan candaan dan muka menggoda, seperti yang dulu sering kami lakukan ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Umum.
Tiba-tiba aku merasa ada yang memanggil dari dalam kamar. Segera kutinggalkan Anisa tanpa permisi. Kulangkahkan kaki sedikit cepat ke arah kamar. Benar saja, Mas Endi datang menemuiku. Kusambut ia dengan wajah sumringah sampai lupa menutup pintu rapat-rapat.
"Maaf ya, Mas. Di luar lagi ada temenku silaturahim. Kamu dari tadi, ya?" tanyaku sembari mengajaknya duduk diatas kasur.
"Nggak kok, baru saja sampai. Mas cuma ingin memastikan bahwa calon istri mas ini baik-baik saja" di usapnya kepalaku seperti yang sering ia lakukan. disapunya permukaan wajahku hingga dagu. "Aku, pergi dulu ya. Kasihan itu temennya sendirian" belum juga selesai Mas Endi mengucapkan salam perpisahan, Aan membuka pintu kamarku.
"Nay? Kamu ngomong sama siapa?" Aan nampak celingukan mencari seseorang lain di kamarku.
"Calon suamiku, An. Dia baru pulang, tapi, sudah pergi lagi kok" Aku berusaha menjalaskan seolah Aan tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Kulihat raut wajah Aan tidak berubah, berbeda dengan Ibu ketika pertama kali kuceritakan tentang Mas Endi.
"oh, Jadi ini Mas Endi yang pernah diceritakan Bulek"
"Loh, Ibu sudah cerita ke kamu, toh. Kok ya ndak bilang-bilang sama aku kalo kontekan sama kamu"
"Karena Ibumu lah aku pulang, Nay. Ada hal yang perlu aku sampaikan sama kamu. Katanya kamu mau menikah kan pertengahan bulan depan?" wajahnya mendadak sumringah sekali menanyakan pernikahanku.
"Iya, In sya Allah, An"
Panjang lebar Aan memberikan nasihat pernikahan padaku. Sebagai seorang sahabat dia merasa bertanggung jawab menyampaikan pernak pernik pernikahan yang ia tahu. Maklum, sahabatku ini sudah 5 tahun berumah tangga dan menurut pengakuannya belum pernah bertengkar dengan suaminya.
"Tapi, Nay, kalau aku boleh tanya, apa kamu yakin akan menikah dengan Endi?" Digenggamnya tangan kananku. Erat sekali. Seolah aku akan jatuh jika dilepaskan tangannya dari tanganku.
"Yakin, lah, An. 5 tahun aku pacaran sama Mas Endi masa iya aku masih ndak yakin. Atau kamu juga berfikir bahwa aku gila?" kusampaikan itu dengan nada meninggi. Entah kenapa dadaku terasa sesak setiap kali membicarakan ketidak percayaan orang-orang dengan keberadaan Mas Endi.
"Demi Allah, nggak, Nay. Aku sama sekali ndak menganggap kamu gila. Cinta itu fitrah dan wajar kalau kamu mencintai Endi. Allah yang bilang dalam Q.S Adz Zaariyat ayat 49 bahwa setiap kita diciptakan berpasang-pasang di bumi ini supaya kita mengingat kebesaran Allah. Dan aku percaya bahwa kamu kelak akan menikah dengan orang yang kamu cintai, dengan pasanganmu, tidak terkecuali Endi. Tapi, Nay, Endi sudah meninggal 3 tahun lalu. Dan sesuatu yang ghaib itu bukan segolongan kita seperti yang dimaksudkan di ayat tadi. Tolong mengertilah, Nay"
Aku diam, sementara Aan mengambil nafas sejenak sebelum melanjutkan nasihatnya. Q.S Fatiir menghantarkanku pada sebuah angan panjang.
"Dan Allah menciptakan kamu dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan. Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak pula melahirkan melainkan dengan sepengetahuanNya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan telah ditetapkan dalam kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. Terjemahan Fatiir ayat 11"
"Inayah Abdullah... Kamu percaya dengan Allah, kan? Yang telah meninggal, ruhnya tidak akan mungkin mendatangi kita dan menyampaikan salam seperti yang sering kamu ceritakan sama Bulek setiap pagi, Nay. Al-Quran itu sungguh perkataan dari Allah, Rabb kita, tidak ada keraguan di dalamnya, dan apakah kita manusia ini mau meragukannya sedang kita hanya berasal dari air mani yang hina? Sebegitu tinggikah kita memposisikan diri sehingga ndak percaya lagi sama Allah?"
"Aku tahu perasaanmu, Nay. Kita berteman dari sebelum kamu kenal Endi. Kamu tahu aku sangat setuju dengan kalian berdua, tapi, sekarang keadaannya tidak sama lagi, Nay. Tidak akan pernah sama. Mengertilah bahwa yang ruhnya sudah terlepas dari jasadnya tidak akan bisa menambah umurnya untuk tinggal di bumi ini lebih lama lagi."
Perlahan air mataku membentuk butiran bening di tepian mata, mengais tiap mili kulit wajahku. Aku menangis. Hatiku menjerit-jerit bak setan kepanasan. Kutundukkan kepalaku serendah mungkin. Kubungkam perasaan sakitku. Kuredam gejolak yang dulu timbul setiap kali bersitegang dengan kedua orang tuaku.
"Jadi, Siapa yang selalu datang di setiap malamku, An? siapa yang menceritakan kisah perjalanannya? Siapa yang tiba-tiba datang dan pergi? Siapa yang akan menikahiku bulan depan, An? Siapa?" Lagi, tangis kehilangan ku jatuhkan seperti ketika kuketahui bahwa Endi Raharjo, kekasihku meninggal dalam perjalanan ke rumahku. Aku mencoba mencari kesadaran yang sempat singgah barang sedetik dua detik.
"Allaah... Nay, bisa jadi itu Jin atau tokoh fiksi yang kamu ciptakan sendiri, atau sekumpulan rindumu pada Endi yang menciptakan bayangan yang seolah sempurna itu" Diambilnya kain panjang yang sedari tadi dikenakannya di pundaknya, dipasangkan di kepalaku dengan berucap basmallah.
"Kita manusia harusnya imun pada Iman yang selalu kita gaungkan, Nay. Kita mengaku Islam, kita sholat, kita puasa, tapi, adakah Allah mengisi hati kita? adakah Allah menyentuh relung rindu kita hingga mampu diisi oleh syaiton? atau Allah sudah berganti posisi dengan tokoh fiksi yang kita ciptakan sendiri? Mulai sekarang, berjilbablah agar Allah dekat dengan hatimu" kepeluk erat wanita yang selesai memasangkan kain kerudung di kepalaku. Kupekikkan kata "Allah" berulang kali hingga air mata tak sedikitpun meninggalkan wajahku tanpa disapunya.
"Tapi, An, Aku sungguh mencintai Mas Endi" kugenggam tangannya erat-erat seperti yang dilakukannya sedari tadi.
"Kalau kalian berjodoh, akan selalu ada cara untuk kalian bersama. Tidak bertemu di dunia, In sya Allah di akhirat. Asal kamu yakin, Allah itu Maha Dekat dengan setiap hati hambaNya"
***
Ini merupakan Fiksi lanjutan dari kisah dari sahabat saya, Deby Theresia. Selamat menari dengan ribuan dandelion kata di blognya...
Lah kok aku malah merinding toh mbaaaak... T.T
ReplyDeleteAnw. Yg perlu di edit mungkin namanya, Naya Mulyono. Bukan abdullah nm bpk ny hehe