Kapan kau akan datang kemudian duduk di sampingku?
Katamu ke Rusia hanya sebentar, mengantar berkas ayahmu kemudian pulang.
Rasanya satu tahun lebih lama dari yang kau janjikan. Lihat, garis laut ini
telah berubah jingga. Bosan terlalu lama menunggumu. Tahukah, bukan hanya namamu
yang tebayang saat aku melihat lingkaran paladium di jari manisku ini, tapi
wajahmu, surat elektronikmu enam bulan lalu, sepeda yang selalu kita bawa ke
sini, janji pulangmu Januari lalu, dan undangan pernikahan yang terpaksa
dibatalkan. Sadarkah, perlahan perasaanku mulai mengkhawatirkan dirimu.
Mengkhawatirkan duniamu yang katamu tertinggal disini sedang ragamu disana.
Merindukanmu... ya, pantai ini ingin segera melihatmu duduk di sampingku, bukan
hanya aku yang lebih mirip orang tak punya kerjaan setiap hari menyampaikan
salam untukmu lewat deburan ombak.
Ingin rasanya ku biarkan saja firasat ini
berprasangka semaunya, menuduhmu tak punya hati, atau mengolok-olok namamu di
antara rasa yang mungkin saja sudah tak layak ku sebut cinta. Dia memilih diam
dan membiarkanmu lalu-lalang begitu saja di jiwa ini, di otak ini, di relung
hati ini.
Kapan kamu pulang, mas?
Ibuku tak hentinya memintaku menerima pinangan anak
rekan kerja ayah. Tapi, bagaimana mungkin jika hatiku saja masih tak mau
merelakan ruangnya diisi orang lain.
Kali ini aku pulang tanpa air mata, tanpa sesak,
tanpa ada beban yang menggantung di ubun-ubunku. Aku merelakan firasat ini
berjalan semaunya saja. Aku pasrah.
No comments:
Post a Comment