"sejak kapan manusia bisa bahagia ketika sakit, sejak kapan pula sebongkah hati merasakan sakit ketika bahagia. ada. akan hadir bagimu sebuah rindu yang menjelma menjadi bait-bait kata tanpa suara" ~ AnisaAyumi
rasanya suaraku ingin terpekik lantang hingga keujung pulau ini. disini, diruang kosong tanpa manusia ini aku hanya menjadi manusia autis. sendiri. sedikit sakit namun ada kalanya kesakitan itu dirindukan. seperti saat ini. ketika rasa sakit begitu kurindukan.
hari ini aku melebur bersama pasir pantai. menduduki kursi di pelataran kamar dengan desau angin yang tak bernada. kicau burung. debur ombak. dentingan logam alumunium yang saling bersahut dengan kicauan dadali. disini duniaku terasa sempurna. hanya saja.... tanpamu, yang membuat kesempurnaan itu tak berkualitas.
disini, segala hidupku tertulis jelas menjadi paragraf narasi yang indah. siapapun yang saat ini mendengar mungkin takkan sanggup beranjak sebelum pengakuan akhir terucap dari bibirku. sebuah birama tanpa ketukan yang mulai hambar. bukan karena nadanya tak berarah, melainkan matanya yang tak lagi melihat dawai. tentang cerita anak manusia yang begitu sulit dijalani, tapi mampu bertahan cukup lama.
malam itu, atau lebih tepatnya dini hari, suaranya begitu halus membisik di telingaku. air matanya tulus. tak sama ketika cerita lain mengalir walau lebih dramatis. hatinya, dinobatkan menjadi satu denganku. orang yang tadinya aku tak tau apakah dia sahabat, atau sekedar teman, saat ini telah menjadi sebagian kertas yang tertulis namaku disana. dengannya, duniaku akan kubagi.
"aku tidak tahu bagaimana rasanya jadi kamu dan semoga tidak akan pernah menjadi sepertimu. selama ini? oh Tuhan betapa banyak zat aditif yang kau telan" katanya sedikit tertahan
"aku hanya berusaha memerankan ini sebaik mungkin" tiba-tiba kepalaku menjadi berat. kubenamkan setengah wajahku di bantal, di depannya.
"sebenarnya mau berapa lama lagi kau racuni tubuhmu? sudahlah. berhenti atau cari cara lain saja" matanya mencari arah sinar mataku. tapi nihil. aku enggan melihatnya dengan gumpalan air mata yang siap menetes
"kau tidak tau rasanya ketika pil itu ku telan" aku menunduk. aku tidak ingin lagi menghadap wajahnya
"mungkin ada baiknya kau harus mulai menghargai tubuhmu" ia duduk dekat denganku. jemarinya begitu halus mengusap punggungku. air matanya ikut menetes seiring dengan mulutku yang tak berhenti menceritakan segala hal tentang hidupku yang kacau. rasa rindu dengan kedamaian itu semakin dekat hingga terasa tak bersekat
"ingat ya, ketika kau merendahkan dirimu sama halnya kau tengah merendahkan aku. bagaimana mungkin kau memberi predikat dirimu adl orang yang bodoh, rapuh atau salah sedangkan aku selalu menggantungkan hidupku denganmu. ketika kau terluka atau dilukai sama halnya luka itu menyakitiku. kau tahu, hati kita ini sudah menjadi satu semenjak pertama kali aku menyapamu di depan gedung itu. kenapa kau tak paham juga betapa berharganya dirimu untukku. aku ini bukan hanya sabahatmu, aku menganggapmu sebagian dari isi hidupku. denganmu segala hal yang tak sanggup ku ceritakan pada orang lain pasti aku ceritakan. denganmu aku selalu ingin melakukan hal-hal yg tidak mau aku lakukan dengan orang lain karena denganmu pastilah lebih berarti. dengar! kita ini satu, sekarang. jangan biarkan aku yang memberi pelajaran pd mereka agar mereka melihat betapa berharganya dirimu. aku percaya kamu kuat tanpa obat-obat gila itu" tangannya menarik daguku naik. ia ingin aku melihat matanya yang sembab, sayangnya tak sesembab mataku
aku hanya mengangguk menyaksikan sahabatku, perempuan yang selama ini tak terlihat begitu peduli ternyata lebih melihatku dari siapapun.
di villa ini, aku mengenang kembali betapa egonya aku membiarkan tubuhku disakiti obat-obat setan sementara di hati ini zat aditif lain telah bertumpuk tanpa hitungan. aku membuka kembali cerita-cerita malam itu hingga rasa rindu dengannya kembali hadir. angin pantai membuat rinduku semakin pekat.
sincerely, Ay
Arum nulis sendiri ? Bagus!
ReplyDeleteIya kak angger, ini tulisan arum
Delete