Bismillahirrahmanirrahim...
Rasanya aku begitu
memaksakan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Seperti menganggapnya sebagai
takdir hidupku padahal aku sama sekali tidak tahu jalan seperti apa yang akan
aku hadapi nanti.
Sekarang, aku
sadar bahwa kelopak dandelion tetap harus pulang ke tanah, pemiliknya yang
haqiqi. Sekalipun ia tumbuh dalam tangkai yang begitu kokoh. Sekalipun bagiku,
ia adalah hak yang patut aku pertahankan. Apalah dayaku, jika segala ini telah
dituliskanNya. Aku hanya sebatang kayu. Ya... aku harus ikhlas.
Cukup. Aku sudah
memilikinya dalam diriku. Sempat memilikinya lebih tepatnya. Sayangnya aku
tidak belajar melepaskan. Aku hanya tahu bagaimana cara memeluknya erat-erat.
Aku mengabaikan segala aspek yang seharusnya aku pelajari. Aku menganggap bahwa
semuanya akan baik-baik saja. Otakku terlalu keras untuk menerimanya.
Dia....
Seseorang itu
memang masih ingat, masih ingin bersama. Aku tidak tahu apa yang sedang
dikerjakannya, apa yang tengah difikirkannya. Keputusanku membiarkan segala hal
berjalan semaunya sepertinya memang tepat. Duniaku begitu sempit sehingga
rasanya sangat sulit bergerak kearah lain tanpa suaranya.
Harapan itu masih
ada...
Setidaknya aku
yakin bahwa setiap nyawa pasti akan pulang ke peraduannya. Setiap kelopak akan
jatuh ke tanah. Setiap kapal akan bersandar di dermaga. Apa yang saat ini ku
anggap tidak ada, bukan berarti benar-benar tidak akan pernah ada. Siapa yang
saat ini tidak hadir mungkin belum datang saja. Atau tengah beristirahat di
gubuk tepi jalan. Atau, bisa jadi yang saat ini aku jaga adalah memang dia yang
ditakdirkan menjadi masa depanku. Aku hanya berusaha khuznuzhan. Aku tidak tahu
apapun kecuali keyakinan ini.
Panggung
pertunjukan telah usai. Dan sekarang, aku tengah menyaksikan tanganku
bergemerincing di atas pentas bersama selendang merah yang menawan. Sendiri.
Aku tidak berharap
apapun kecuali padang ini kelak akan ditumbuhi ribuan dandelion lagi...
No comments:
Post a Comment