Sunday, July 6, 2014

Dandelion itu pasti pulang



Bismillahirrahmanirrahim...
Rasanya aku begitu memaksakan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Seperti menganggapnya sebagai takdir hidupku padahal aku sama sekali tidak tahu jalan seperti apa yang akan aku hadapi nanti. 

Sekarang, aku sadar bahwa kelopak dandelion tetap harus pulang ke tanah, pemiliknya yang haqiqi. Sekalipun ia tumbuh dalam tangkai yang begitu kokoh. Sekalipun bagiku, ia adalah hak yang patut aku pertahankan. Apalah dayaku, jika segala ini telah dituliskanNya. Aku hanya sebatang kayu. Ya... aku harus ikhlas. 

Cukup. Aku sudah memilikinya dalam diriku. Sempat memilikinya lebih tepatnya. Sayangnya aku tidak belajar melepaskan. Aku hanya tahu bagaimana cara memeluknya erat-erat. Aku mengabaikan segala aspek yang seharusnya aku pelajari. Aku menganggap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Otakku terlalu keras untuk menerimanya.

Dia....

Seseorang itu memang masih ingat, masih ingin bersama. Aku tidak tahu apa yang sedang dikerjakannya, apa yang tengah difikirkannya. Keputusanku membiarkan segala hal berjalan semaunya sepertinya memang tepat. Duniaku begitu sempit sehingga rasanya sangat sulit bergerak kearah lain tanpa suaranya.

Harapan itu masih ada...

Setidaknya aku yakin bahwa setiap nyawa pasti akan pulang ke peraduannya. Setiap kelopak akan jatuh ke tanah. Setiap kapal akan bersandar di dermaga. Apa yang saat ini ku anggap tidak ada, bukan berarti benar-benar tidak akan pernah ada. Siapa yang saat ini tidak hadir mungkin belum datang saja. Atau tengah beristirahat di gubuk tepi jalan. Atau, bisa jadi yang saat ini aku jaga adalah memang dia yang ditakdirkan menjadi masa depanku. Aku hanya berusaha khuznuzhan. Aku tidak tahu apapun kecuali keyakinan ini.

Panggung pertunjukan telah usai. Dan sekarang, aku tengah menyaksikan tanganku bergemerincing di atas pentas bersama selendang merah yang menawan. Sendiri.

Aku tidak berharap apapun kecuali padang ini kelak akan ditumbuhi ribuan dandelion lagi... 

No comments:

Post a Comment