Wednesday, November 28, 2012

Annisa

Matahari pagi ini masih malas meninggi. Sementara di ujung perempatan jalan sosok gadis itu sudah lebih dulu tampak. Gadis dengan tas punggung penuh sesak, sekantong kresek yang isinya entah apa, tampak menjauh dari perbatasan desa dengan sandal jepit yang juga lusuh. Dandanan nya biasa. Pakaiannya pun biasa, bahkan terkesan kuno. Sepagi ini tidak biasanya ia telah keluar rumah. Keluar kamar pun sangat jarang sebelum pukul delapan. Namanya annisa.

Gadis enambelas tahun yang masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas ini ternyata mengarah ke terminal. Lima menit kemudian ia telah berada di dalam bus jurusan Belitang-Jakarta.

Sepucuk surat dengan pena yang masih tergeletak di sisi nya digenggamnya begitu erat. tangan keriput itu Nampak bergetar membaca dua baris tulisan bertinta hitam ditangannya.

“ibuk, annisa pergi. Maaf tidak memberitahu ibu sebelumnya. Perlu ibuk tahu, anisa sudah bosan hidup miskin sama ibuk. Jangan cari nisa “

Cerita tentang gadis pemalas dan miskin itu menyebar bak berita kematian. Entah siapa pelopornya hingga ada isu bahwa ibu tua itu yang memaksa anaknya mencari banyak uang hingga mengusir dari rumah. Tekanan batin serasa tidak mampu tertahan oleh tubuh renta itu. Rasa rindu seperti menggerogoti kesehatannya meski sangat lamban.

Senja hari ini begitu cerah. Bayangan gadis dengan high heels setinggi sepuluh centimeter dan koper hitam mendekati pangkalan ojek dengan begitu anggun. Dia anisa, gadis pemalas yang lima tahun lalu menghilang dari pelataran. Dia anisa. Wanita dewasa dengan dandanan yang tak lagi biasa. Ya, dia anisa, gadis sosialita yang enggan lagi dipanggil anisa, tapi anita.

No comments:

Post a Comment