“awakmu ngomong opo karo mas hendra sampe de’e mutusne aku. Hah? Arep nggolek masalah koe karo aku yo? Dasar lonte!” (lo bilang apa ke hendra sampe dia mutusin gue? Hah? Lo cari masalah sama gue. Dasar pelacur-maaf-) bentak asti tepat didepan wajah tanti. Sore itu pelataran sekolah seperti mencekam. Tampak lebih menyeramkan dari tempat pemakaman umum. Bagi asti, tanti seperti iblis yang harus dimusnahkan.
“opo salahku ti? Aku arep muleh” (apa salah gue ti, Gue mau balik) berontak tanti ketika susan, mery, dan asti menyeretnya ke gudang belakang sekolah.
“opo salahmu? Ndarakmu aku ki buto opo hah? Anggetmu aku nggak ngerti lak awakmu meneng-meneng seneng karo mas hendra to? Ngaku koe!” (apa salah lo? Lo kira gue buta? Lo kira gue nggak tau kalo lo diam-diam suka sama mas hendra? Ngaku lo!) gadis belia itu tampak pasrah. Mukanya pucat. Dari matanya perlahan hadir bulir-bulir air. Tanti menangis. Dia tidak tahu untuk apa semua ini harus ia jalani lagi dan lagi. Dengan masalah yang selalu sama. Asti dan hendra.
“pasung neng kene wae ti. Ben kapok wadon iki. Ben ngerti rasane di tinggal dewean” (kurung disini aja ti. Biar dia kapok. Biar dia tau gimana rasanya ditinggal sendiri) ucap susan ketus. Mereka bertiga sama ‘iya’ nya. sama-sama konglomerat yang miskin hati.
“asti, ojo ti, tulong ti.. si mbok neng omah dewean ti. Mbok e durung mari. Aku arep muleh ti.. tulong jarne aku muleh… ”(asti, jangan ti, gue mohon… ibu di rumah sendiri ti. Ibu belum sembuh. Gue mau pulang ti… tolong biarin gue pulang) isak tanti meskti tanpa penjelasan lain. Malam ini harusnya ia menyelesaikan jahitan baju pesanan bu lurah. Kalau tidak, televisi tua satu-satunya di ruang tamu rumahnya akan jadi korban. Terlibat hutang dengan rentenir sekaligus lurah adalah hal biasa bagi warga desa. Tapi tidak bagi tanti. Hidup hanya dengan seorang ibu yang menderita TBC akut. Gadis enam belas tahun ini terpaksa menjadi tulang punggung keluarga.
Malam ini tanti terpaksa harus tidur di ruang ini. gudang sekolah yang kosong, gelap, kotor, berdebu dan hanya ada seberkas cahaya yang membantu penglihatannya. Pikirannya jauh disana. Memikirkan ibu yang tengah sakit parah dan butuh dia. Tangannya masih memegang uang hasil penjualan gorengan di kantin sekolah. Soren tadi ia janji akan menebus obat ibu. Sekeras apapun tanti menangis, suaranya tetap tidak di dengar asti. Kecemburuan membuatnya gelap.
“ya Gusti, kulo nyuwun ngapunten. Tulung jagakne si mbok teng griyo.” (ya Allah, aku mohon ampun, tolong jaga ibu di rumah…) gudang kosong ini terasa sesak oleh tangisan gadis mungil ini. masih tidak mengerti dengan apa yang dituduhkan asti terhadapnya. Hendra memang pernah menyatakan cinta padanya, tapi tidak digubrisnya.
Sore itu tanti mengayuh sepeda ontel menuju rumah. Membuka gembok pintu kemudian duduk di ranjang berbahan bambu. Memeluk bantal putih dengan tulisan segitiga biru. Kamar itu kosong. Sore ini ia tidak ingin makan. Hanya ingin menghabiskan malam dengan kenangan bersama si mbok. Ibu tua itu meniggal seminggu yang lalu.
“mbok.. tanti nyuwun ngapunten nggeh” (bu, tanti minta maaf ya…)
No comments:
Post a Comment