Dear,
Tara
Aku
pernah bertanya pada hujan, pada langit, pada udara, pada diri sendiri, kenapa
harus kamu yang terlihat mataku sementara banyak orang lain yang lebih sempurna
darimu. Aku juga pernah bertanya pada setiap artikel yang di tulis orang-orang
tentang tanda-tanda orang yang jatuh cinta. Jawabannya tetap nihil. Aku tidak
menemukan apa-apa selain air mata. pernah kah ada selintas pikiran di otakmu
bahwa gadis yang saat ini sedang menunggumu memetikkan bunga lili untuknya ini
bukan hanya berharap kau datang saat musim gugur dengan seperangkat nyawa dan
jasadnya saja? Ya, aku ingin ada bunga lili di tanganmu, dengan senyum merekah
yang turut kau hadirkan.
Tara,
dari sekian banyak orang, entah kenapa aku berani menangisimu, entah kenapa ada
saja hal-hal sepele yang membuatku sakit dan menangis. Padahal siapalah saya?
siapa kamu? Kita hanya dua manusia yang ditakdirkan bertemu dan berinteraksi
lebih lama kemudian kau yang perlahan mengakar dalam hati ini. tidakkah kau
sadar. Tara, gadis yang kau minta untuk berjuang bersamamu ini telah merelakan
siapapun orang di masa lalunya, yang pernah menyakitinya, yang pernah
melukainya, yang pernah membahagiakannya, atau yang sekedar menawarnya untuk
menjadi teman hidup, demi kamu. Iya, demi keinginan untuk belajar mencintaimu. Walaupun
pada akhirnya proses belajar itu lagi-lagi hanya ilusi darimu.
Apakah
ini hanya settingan, Tara?
Apakah
aku hanyalah alat peraga? Yang selalu ada saat kamu butuh, yang tidak protes
ketika kau sakiti, yang tidak pernah meminta kau tinggal lebih lama, yang tidak
pernah memaksa kamu untuk selalu ada. Apa begitu? Betapa sedihnya aku jika
jawabnya, iya.
Mungkin
hanya aku, AKU, Tara, di dunia ini perempuan yang sangat yakin janjimu adalah
nyata padahal kau sendiri tidak yakin janji itu akan mampu kau penuhi. Cuma aku,
Tara, perempuan yang tidak meminta ruang lebih di hidupmu. Hanya aku, wanita
yang rela selalu bersembunyi dibelakang namamu sementara kau sangat bebas
menyimpan siapapun di hatimu, siapapun. Bahkan tanpa aku tahu.
Bisakah
tidak menyakiti hatiku (lagi), Tara?
Setiap
hari di hidupku aku selalu belajar melepas masa lalu, menggantinya dengan
catatan-catatan yang akan kita wujudkan bersama (nanti).
Setiap
harinya aku belajar menerimamu dengan segala posisiku yang “mungkin” ala
kadarnya di hidupmu.
Setiap
hari aku belajar mengingatmu, agar tak teringat segala rasa sakitku yang dulu,
agar hanya engkau yang aku utamakan.
Tapi
kenapa kau tidak, Tara?
apa
aku hanya menjadi hal penting di saat-saat tertentu saja? Ketika kau sendiri
misalnya, atau kau tengah dalam masalah. Aku tak pernah pergi dari posisi yang
kau izinkan, tapi kenapa kamu tidak bisa mulai menghargai aku sebagai orang
yang setidaknya saat ini tengah di hidupmu? Sebegitu tidak pentingnya aku?
bukankah kau bilang kau tidak pernah punya tempat untuk orang di masa lalumu,
lalu kenapa aku tidak pernah menjadi istimewa di setiap tulisanmu, di gambarmu,
di sajakmu, seperti masa lalumu yang tidak pernah lekang di hari-harimu.
Jika
memang aku tidak pernah berpengaruh apapun untuk hidupmu, sepertinya aku hanya
akan menjadi parasit kalau terus-terusan memintamu menganggapku ada, sementara
kau sendiri (sepertinya) belum menginginkan aku menjadi bagian hidup yang bisa
kau ceritakan pada orang-orang suatu saat nanti.
Angin
malam selalu begitu
Selalu
sendu dan tak tahu malu
Walau
pekat menyembunyikan air
Biarlah
aku seka sendiri setiap darah ini
Biarkan
malam bawamu lelap
Biar
aku sendiri
Biarkan
dengan luka ini saja
with love, Rainy
Note: ini adalah cerita fiksi, mohon maaf jika ada nama yang sama. peace :D
No comments:
Post a Comment